MAKALAH
DASAR
LOGIKA DAN PENULISAN ILMIAH
PERILAKU
MENYONTEK DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Oleh:
MERI
ANDANI
1300335/2013
BIMBINGAN
DAN KONSELING
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah tentang perilaku menyontek dan upaya penanggulangannya tanpa ada
halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini di tulis
bertujuan untuk memenuhi tugas Dasar Logika dan Penulisan Ilmiah.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata penulis mohon maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan.
Semoga bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi penbaca.
Padang, 8 Juni 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................3
BAB
II MENYONTEK DI LINGKUNGAN PELAJAR
A. Pengertian
Perilaku Menyontek...................................................................4
B. Gejala
dan Bentuk-bentuk Menyontek.........................................................6
C. Penyebab
Perilaku Menyontek...................................................................16
D. Dampak
Perilaku Menyontek.....................................................................30
BAB
III UPAYA PENANGGULANGAN PERILAKU MENYONTEK
A. Diri
Sendiri.................................................................................................34
B. Orang
Tua...................................................................................................36
C. Guru............................................................................................................37
D. Sekolah.......................................................................................................38
E. Guru
BK atau Konselor..............................................................................39
BAB
IV PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................43
B. Saran...........................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menyontek merupakan hal yang sudah tidak asing lagi.
Perilaku menyontek sering di sebut
ketidakjujuran akademis. Menyontek sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang
lalu. Saat ini perilaku menyontek tidak hanya terjadi pada jenjang pendidikan
SD, SMP, dan SMA saja, bahkan sampai
pada perguran tinggi dan juga pada tingkat sekolah pascasarjana. Baik itu di
kota maupun di desa dan di sekolah maju ataupun sekolah yang biasa-biasa saja.
Perilaku menyontek tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara
lainnya seperti Amerika, Australia, dan Eropa.
Berbicara tentang menyontek, mungkin akan banyak
memunculkan pertanyaan. Kenapa menyontek itu bisa terjadi? Apa dampak bagi pelajar
yang sudah terbiasa menyontek? Kenapa perilaku menyontek itu tidak dapat
dihilangkan dan bahkan sudah menjadi tradisi?
Setiap individu atau pelajar menginginkan prestasi
belajar yang baik. Karena keinginan untuk berprestasi tersebut, segala cara pun
dilakukan baik itu cara positif maupun negatif. Cara positifnya bisa melalui
belajar dengan tekun dan jujur serta percaya diri saat mengerjakan ujian atau
tes akademik lainnya. Sedangkan cara negatifnya adalah dengan menyontek. Selain
keinginan untuk berprestasi, masih banyak lagi alasan yang menyebabkan
seseorang menyontek. Seperti ingin
menghindari kegagalan, tekanan dari teman sebaya maupun dari orang tua, dan
tidak percaya diri ketika mengikuti ujian. Siswa juga mempersepsi bahwa
prestasi itu adalah sebuah keberuntungan dan mempersepsi menyontek merupakan
hal yang sudah biasa.
Menyontek dapat juga terkait dengan pembentukan kode
moral. Menurut teori perkembangan moral Kohlberg, perilaku menyontek lebih
terkait dengan masalah pembentukan Kode Moral (Dody Hartanto, 2012:5).
Menyontek dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Menyontek dapat mengikis
pribadi jujur dalam diri seorang pelajar, dapat menghambat seorang pelajar
mengoptimalkan kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil belajar. Perilaku
menyontek juga dapat menyebabkan ketidakadilan pada proses penilaian. Apakah
nilai yang di dapat dari hasil menyontek itu bisa menjamin dan dapat digunakan
untuk masa depan pelajar tersebut?
Pelajar yang telah terbiasa melakukan perilaku
menyontek akan sangat sulit untuk meninggalkannya karena sudah tidak ada lagi
rasa takut di dalam dirinya. Menyontek dapat juga dikatakan sebagai suatu
tradisi atau kebiasaan yang tak pernah hilang. Hal ini dapat terjadi karena
masalah menyontek tidak hanya berasal dari lingkungan sekolah saja tetapi bisa
berasal dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, saudara dan teman sebaya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian perilaku menyontek?
2. Seperti
apakah gejala dan bentuk menyontek itu?
3. Apa
saja penyebab seseorang menyontek?
4. Apakah
dampak yang terjadi pada orang yang menyontek?
5. Bagaimana
upaya penanggulangan perilaku menyontek baik itu dari diri sendiri, guru, orang
tua, guru BK atau konselor?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian perilaku menyontek.
2. Untuk
mengetahui gejala dan bentuk menyontek.
3. Untuk
mengetahui penyebab seseorang menyontek.
4. Untuk
mengetahui dampak yang terjadi pada orang yang menyontek.
5. Untuk
mengetahui upaya penanggualangan perilaku menyontek baik itu dari diri sendiri
, guru, orang tua, dan guru BK atau konselor.
BAB
II
MENYONTEK
DI LINGKUNGAN PELAJAR
A. Pengertian
Perilaku Menyontek
Perilaku merupakan respon terhadap stimulus yang
mengenainya. Perilaku tersebut tidak timbul dengan sendirinya tetapi sebagai
akibat dari adanya stimulus atau rangsangan yang mengenai organisme atau
individu itu (Bimo Walgito, 2003:43).
Rooter (dalam Zulkaida dkk, 2007:13) menyimpulkan
perilaku merupakan suatu fungsi dari harapan (tindakan yang diberikan akan
menghasilkan perilaku reword, berupa hadiah dan hukuman), dan nilai sehingga
diasmumsikan orang berperilaku tertentu untuk memperoleh hadiah dengan nilai
tinggi dan menghindari hukuman yang sangat tidak menyenangkan. Menyontek
berasal dari kata dasar “sontek” yang berarti mengutip atau menjiplak. Mengutip
itu merupakan menyalin kembali suatu tulisan, sedangkan menjiplak merupakan
menulis atau menggambar dikertas yang dibawahnya diletakkan kertas yang sudah
bertulisan dan bergambar.
Menyontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan
oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di sekolah, di
perguruan tinggi, maupun di tempat yang lainnya. Perilaku menyontek juga dapat
diartikan sebagai penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Purwadarminta, menyontek adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan,
pekerjaan orang lain sesuai dengan yang aslinya.
Setiap orang ingin mendapatkan kebarhasilan seperti
keberhasilan di dalam belajar. Untuk memperoleh keberhasilan tersebut seseorang
sering kali menggunakan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam menyontek seseorang melakukan praktek
kecurangan dengan bertanya, memberi informasi, atau membuat catatan untuk
mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Keuntungan tersebut di peroleh
tanpa mempertimbangkan aspek moral dan kognitif. Sehingga kecurangan tersebut
dapat merugikan tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga dapat merugikan orang
lain.
Plagiarisme
sering juga dikaitkan dengan perilaku menyontek. Yang mana plagiarisme tersebut
merupakan bagian dari perilaku menyontek, akan tetapi tidak semua perilaku
menyontek itu adalah plagiat. Palgiarisme diartikan mengambil atau menggunakan
kata atau ide dari pekerjaan orang lain.
Perilaku menyontek yang dianggap serius diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Plagiat.
2. Membuat
atau memalsukan karya yang telah dikerjakan atau dilakukan orang lain.
3. Menyalin
beberapa kalimat atau materi tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
Dengan adanya kemajuan dan kecanggihan
teknologi pada zaman modern ini, perilaku menyontek semakin mudah dilakukan
oleh kalangan peserta didik maupun orang yang lainnya. Hal tersebut merupakan
salah satu dampak negatif dari kecanggihan teknologi karena tidak digunakan
sesuai dengan yang semestinya.
Menyontek ini sering kali terjadi karena
siswa menilai bahwa pelajaran-pelajarannya memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi, seperti pelajaran fisika yang mempunyai rumus yang banyak.
B. Gejala
dan Bentuk-bentuk Menyontek
1. Gejala
Menyontek
a. Prokrastinasi
dan Self-efficacy
Prokrastinasi
merupakan perilaku yang suka menunda-nunda tugas penting. Prokrastinasi menjadi
gejala yang paling sering ditemui pada siswa yang menyontek. Hal ini terjadi
karena, siswa yang diketahui menunda-nunda pekerjaan memiliki kesiapan yang
rendah dalam mengahadapi ujian. Siswa yang menunda-nunda pekerjaan pada
akhirnya akan memeiliki pengetahuan yang rendah mengenai ujian yang dihadapi
dan akan terdorong untuk menyontek.
Self-efficacy merupakan
kepercayaan seseorang tentang kemampuan diri dalam bertindak. Self-efficacy juga dapat dimaknai
sebagai keyakinan diri seseorang dalam menyelesaikan suatu tugas atau
permasalahan.
Menurut
Bandura (1994) self-efficacy
menentukan bagaimana seseorang merasa, berfikir, memotivasi diri sendiri dan
berperilaku. Jadi, self-efficacy ini
sangat penting dimiliki oleh seorang siswa, terutama saat mengerjakan ujian.
Dengan adanya keyakinan pada kemapuan diri maka hal tersebut akan mempengaruhi
kinerja siswa dalam mencapai keberhasilan di dalam ujian.
Seorang
siswa yang memiliki self-efficacy yang baik, ketika dalam menghadapi ujian akan
memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan dengan
mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian. Sebaliknya, bagi siswa yang
mempunyai self-efficacy yang rendah
pada saat menghadapi ujian akan merasakan perasaan cemas , menunjukkan sikap
yang tidak tenang karena tidak mampu untuk menyelesaikan soal-soal ujian,
sehingga siswa tersebut akan merasa putus asa dalam menghadapi rintangan saat
ujian dilaksanakan dan akhirnya memutuskan untuk menyontek sebagai alternatif
terakhir.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan hasil studi yang dilakukan oleh (Murdock, Hale,
& Weber, 2001) di sekolah menengah atas yang menemukan bahwa keyakinan diri
yang rendah menjadi salah satu indikator munculnya perilaku menyontek.
Selanjutnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Clara Maradina (2008)
diketahui bahwa adanya hubungan negatif yang signifikan antara self-efficacy dalam mengahadapi ujian
dengan kecenderungan menyontek pada mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi
Ubaya.
b. Kecemasan
yang Berlebihan
Kecemasan
ialah suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan, dan merupakan
pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya dan
tidak menentu (Lazarus, 1978; dalam Hartanti dan Boy Soedarmadji, 2013:84).
Biasanya
kecemasan yang normal disebut khawatir atau was-was, yaitu rasa takut yang
tidak jelas, tetapi terasa sangat kuat (Sarlito Wirawan Sarwono, 2012:134).
Kecemasan
yang berlebihan pada siswa memberikan stimulus pada otak untuk tidak dapat
bekerja sesuai dengan kemampuanya. Karena keadaan ini, siswa terdorong untuk
melakukan perilaku menyontek demi ketenangan dirinya. Calabrese & Cochran
berpendapat bahwa kecemasan ini muncul karena katakutan mendapatkan kegagalan
dan adanya ekspektasi siswa untuk sukses yang terlalu tinggi (Whitley, 1998;
Kristin Voelkl Finn, 2004).
Studi
yang dilakukan oleh Malinowski & Smith (1985, dalam Dody Hartanto, 2012:7)
memaparkan bahwa kecemasan yang berlebihan pada saat tes mengakibatkan
seseorang menyontek. Kecemasan ini memang kerap kali terlihat pada siswa yang
akan mengahadpi ujian.
c. Motivasi
Belajar dan Berprestasi
Siswa
yang memiliki motivasi berprestasi yang rendah maka akan menjadi hal yang dapat
mendorong siswa untuk menyontek. Siswa yang memiliki motivasi berprestasi akan
berusaha menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang diberikan kepadanya malalui
usahanya sendiri dengan sebaik-baiknya. Siswa ini sangat menyukai tantangan dan
berbagai ujian yang diberikan kepadanya.
Siswa
yang cenderung memiliki motivasi belajar yang rendah akan menyelesaikan
pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan apa adanya dan lebih memilih untuk
meminta bantuan dari orang lain. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang
rendah ini juga akan memilih tugas atau pekerjaan yang tidak memiliki tingkat
kesulitan tinggi dan yang mudah diselesaikan.
Teori
motivasi menjelaskan bahwa menyontek bisa terjadi apabila seseorang berada
dalam kondisi tertekan dan tidak percaya diri, atau apabila dorongan atau
harapan untuk berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki.
Semakin besar harapan atau prestasi yang diinginkan dan semakin kecil potensi
yang dimiliki maka akan menimbulkan hasrat untuk menyontek.
d. Keterikatan
pada Kelompok
Siswa
yang tergabung didalam kelompok akan merasa ada ikatan yang kuat diantara
mereka , yang mengharuskan mereka untuk saling tolong menolong dan berbagi,
termasuk dalam menyelesaikan tugas atau tes dan ujian yang sedang dilakukan.
Ketertarikan kelompok ini menimbulkan perasaan tanggung jawab siswa secara
bersama-sama untuk saling membantu meskipun melanggar aturan dan merugikan.
Ketertarikan
pada kelompok ini juga berkaitan dengan konformitas. Yang mana konformitas
merupakan suatu bentuk pengaruh sosial, dimana individu mengubah sikap dan
tingkah lakunya sesuai dengan norma sosial. Konformitas ini juga dapat
diartikan sebagai perilaku mengikuti pendapat teman-teman sebaya.
Jadi,
karena siswa ingin diterima oleh teman-temannya di dalam kelompok maka mereka
akan melakukan apa yang diminta di kelompok termasuk dalam bekerja sama di saat
ujian. Selain itu siswa juga takut akan diasingkan atau di jauhi oleh
teman-temannya kerena dianggap tidak kompak.
Siswa
yang sering mengalami ini adalah siswa yang berada pada usia remaja yang mana
remaja sedang berada pada proses pencarian identitas diri. Remaja cenderung
akan mengikuti apa yang diinginkan oleh teman sebayanya agar tidak di jauhi.
Menurut
Garrison (Andi Mapiare, 1982; dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 2012:160) bahawa
kebutuhan khas dari remaja diantaranya yaitu kebutuhan akan keikutsertaan dan
diterima di dalam kelompok, kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, dan
kebutuhan untuk di hargai. Berbagai kebutuhan remaja tersebut dapat membuat
remaja ingin diakui dan diterima oleh kelompok walaupun bagaimana caranya,
seperti menyontek.
e. Keinginan
akan Nilai Tinggi
Siswa
juga di dorong oleh keinginan untuk mendapatkan nilai tinggi yang merupakan
gejala yang juga dapat menyebabkan perilaku menyontek.
Siswa
yang berfikir bahwa nilai adalah segalanya akan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan nilai yang baik. Siswa berfikir bahwa dengan mendapatkan nilai yang
baik maka mereka akan mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Siswa
yang menyontek berfikiran bahwa akan lebih mudah menggapai cita-cita di masa
yang akan datang jika mereka tidak gagal dalam mengahadapi ujian atau pekerjaan
yang diberikan.
Pendidikan
di Indonesia juga menggunakan nilai sebagai hasil evaluasi belajar siswa yang
mengakibatkan masyarakat memandang bahwa prestasi belajar hanya dari pencapaian
nilai yang tinggi dan bukan pada prosesnya. Hal ini juga dapat mendorong siswa
untuk mendapatkan nilai tinggi. Disaat ujian ada kemungkinan siswa untuk
mengalami kegagalan. Untuk menghindari kegagalan tersebut siswa menggunakan
cara menyontek agar mendapatkan nilai yang tinggi.
f. Pikiran
Negatif
Pikiran
negatif ini seperti ketakutan dikatakan bodoh dan di jauhi oleh teman-teman,
ketakutan dimarahi oleh orang tua dan guru, dan pemikiran negatif lainnya.
Jika
seorang siswa mengetahui bahwa jika nilai yang diperoleh jelek atau di bawah
standar rata-rata kelas maka dia akan mendapatkan cap atau label sebagai anak
bodoh dan di jauhi oleh teman-temannya sehingga timbullah gejala menyontek pada
siswa tersebut.
Indikasi
munculnya perilaku menyontek juga dapat diawali dengan adanya hubungan yang
tidak baik antara siswa dengan orang tua. Orang tua yang memberikan dorongan
dan kepercayaan kepada siswa akan dapat meminimalisir perilaku menyontek. Hal
ini terjadi karena tidak adanya rasa tertekan dan rasa takut siswa terhadap
orang tuanya.
g. Harga
Diri dan Kendali Diri
Siswa
dengan harga diri yang tinggi dan berlebihan juga memilih untuk melakukan
perbuatan menyontek. Menyontek ini bertujuan untuk menjaga agar harga dirinya
tetap terjaga dengan mendapatkan nilai yang tinggi meskipun dilakukan dengan
cara yang salah.
Selain
itu, siswa yang menyontek juga menunjukkan adanya gejala pengendalian diri yang
rendah. Seseorang yang memiliki pengendalian diri yang baik akan memperkecil
kemungkinan untuk menyontek. Hasil penelitian Abdullah Alhadza di PPs UNJ
mengungkapkan bahwa alasan pertama kenapa mahasiswa menyontek karena
terpengaruh setelah melihat orang lain menyontek meskipun pada awalnya tidak ada
niat melakukannya.
h. Perilaku
Impulsive dan Cari Perhatian
Ketika
individu memiliki kebutuhan untuk melakukan sensasi, mereka akan melakukan
eksperimen, dan terkadang pada perbuatan yang mengandung risiko seperti
menyontek. Kebutuhan sensasi merupakan perubahan evolusi individu untuk tetap
bertahan hidup (Zuckerman, 1994; Anderman, 2007).
Di
dalam memahami perilaku menyontek sering muncul dua buah pendekatan, yaitu
pendekatan impulsif dan pendekatan sensasi. Siswa yang diakatakan impulsive jika ia membuat keputusan
lebih banyak didasarkan pada dorongan dibandingkan memikirkan alasan. Dorongan
tersebut merupakan dorongan agar mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
Sedangkan siswa yang memiliki kebutuhan akan sensasi yang berlebihan ketika
siswa sedang tumbuh dan berkembang dutunjukkan dengan melakukan perbuatan
menyontek karena tindakan tersebut dianggap bersifat alami sehingga harus
diikuti untuk dapat terus bertahan hidup.
2. Bentuk-bentuk
Menyontek
Berkenaan
dengan bentuk-bentuk menyontek, Hetherington and Feldman (1964; dalam Dody
Hartanto, 2012:17) mengelompokkan perilaku menyontek ke dalam empat bentuk,
yaitu:
Individual-opportinistic yang dimaknai
sebagai perilaku dimana siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian atau tes
sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru keluar dari kelas. Independent-planned yang
diidentifikasikan sebagai menggunakan catatan ketika tes atau ujian
berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap atau dipersiapkan dengan
menulisnya terlebih dahulu sebelum berlangsungnya ujian. Social-active yang merupakan perilaku dimana siswa mengcopi atau
melihat atau meminta jawaban dengan orang lain. Social-passive adalah mengizinkan seseorang melihat atau mengcopi
jawaban.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dody Hartanto (2010) kepada siswa di salah
satu sekolah swasta di kota Yogyakarta diketahui bahwa bentuk perilaku
menyontek yang paling dominan adalah social
active. Pada kegiatan menyontek tersebut siswa lebih banyak memilih cara
berupa melihat jawaban teman pada saat tes berlangsung. Bentuk lainnya seperti
meminta jawaban kepada teman, baik melalui pemberian kode nonverbal maupun
dengan tulisan.
Di
dalam penelitian yang dilakukan oleh Friyatmi (2011) pada mahasiswa FE UNP juga
ditemukan bentuk perilaku menyontek yang paling dominan dilakukan oleh
mahasiswa tersebut, yaitu menyalin jawaban teman dan mengizinkan teman menyalin
jawaban mereka.
Menurut
Dody Hartanto (2012:37) bentuk dari perilaku menyontek diantaranya (a)
menggunakan bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik, (b) membuat
informasi, referensi atau hasil dengan menipu orang lain, (c) plagiat, dan (d)
membantu orang lain untuk terlibat dalam perilaku menyontek.
Perilaku
menyontek yang dilakukan oleh siswa dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Menyontek
dengan usaha sendiri (seperti membuat catatan sendiri, membuka buku saat ujian,
membuat coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, dikerah baju dan bisa
juga dengan cara mencuri jawaban teman).
b. Menyontek
dengan kerjasama (seperti membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat
kode-kode tertentu atau meminta jawaban dari teman).
Dengan
kemajuan teknologi yang semakin canggih pada zaman sekarang ini maka timbul
bentuk perilaku menyontek yang baru akibat kecanggihan teknologi. Hal ini
seperti menggunakan kalkulator, memfoto materi yang akan diujiankan dengan
kamera hand phone, membuka internet
dengan hand phone ketika ujian sedang
berlangsung, smsan dengan teman, dan lain sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan
temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2001) di sebuah SMP swasta
di Yogyakarta yang mana terdapat 74 % siswa pernah menggunakan dan memanfaatkan
teknologi untuk menyontek.
Jadi
dapat disimpulkan bentuk-bentuk perilaku menyontek antara lain:
a. individual-opportinistic,
b. independent-planned,
c. social-active,
d. social-passive,
e. melihat
jawaban teman pada saat tes berlangsung,
f. meminta
jawaban kepada teman,
g. mengizinkan
teman menyalin jawaban,
h. menggunakan
bahan yang tidak sah pada setiap kegiatan akademik,
i.
plagiat,
j.
membantu orang lain untuk terlibat dalam
perilaku menyontek,
k. membuat
catatan sendiri,
l.
membuka buku saat ujian,
m. membuat
coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, di kerah baju,
n. mencuri
jawaban teman, dan
o. menggunakan
dan memanfaatkan teknologi.
C. Penyebab
Perilaku Menyontek
Faktor-faktor umum yang menyebabkan terjadinya
perilaku menyontek (Hutton, 2006; Donald P. French, 2006; dalam Dody Hartanto,
2012:31-32) adalah
§ Adanya kemalasan
pada diri seseorang.
§ Karena merasa
cemas.
§ Melihat perilaku
menyontek bukan merupakan hal yang yang salah dan merugikan.
§ Memiliki
keyakinan bahwa perilakunya tidak akan diketahui.
Faktor menyontek dapat dibagi menjadi
dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor
Internal
a. Tingkat
Kecerdasan yang Rendah
Tingkat
kecerdasan juga berpengaruh terhadap seseorang untuk menyontek walaupun hanya
sedikit. Siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang rendah akan lebih mudah
terjebak dalam permasalahan menyontek.
Pada
pelajaran tertentu siswa dituntut untuk menggunakan kemampuan kognitifnya.
Seperti mata pelajaran Matematika yang kebanyakan siswa tidak menyukainya.
Siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang baik akan dapat menyelesaikan
tugas-tugas dengan mudah. Sebaliknya, siswa yang memiliki kecerdasan yang
rendah akan merasa sangat terbebani atau bisa saja menjadi tersiksa karena
tidak sanggup untuk mengerjakannya. Akibatnya siswa yang memiliki kecerdasan
rendah melakukan tindakan yang tidak terpuji yaitu dengan menyontek untuk
menyelesaikan tugas tersebut.
Tingkat
kecerdasan juga berhubungan dengan kempuan seseorang untuk mengingat sesuatu.
Siswa yang memiliki ingatan yang rendah, maka akan sulit baginya untuk
mengingat apa yang sudah dipelajarinya ketika akan ujian.
Mengingat
adalah menyimpan hal-hal yang sudah pernah diketahui untuk dikeluarkan dan pada
saat lain digunakan kembali (Sarlito W Sarwono, 2012:115). Proses penyimpanan
yang dilakukan adalah upaya kita mengodekan, menyimpan, dan mengeluarkan
kembali informasi (Sarlito W Sarwono, 2012:115). Bagi siswa yang tidak mampu
mengingat apa yang telah ia pelajari ketika sedang ujian berarti siswa tersebut
tidak mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah tersimpan. Atau mungkin
siswa tidak ingat karena sudah ada hal-hal baru yang dia alami sehingga tidak
mampu mengingat hal yang sebelumnya. Kalau kita mempelajari hal yang baru,
mungkin hal-hal yang sudah kita ingat, tidak dapat kita ingat lagi (Sarlito W
Sarwono, 2012:120). Keadaan ini juga memicu seorang siswa untuk menyontek.
b. Tidak
Adanya Motivasi Berprestasi
Menurut
Suryadi Suryabrata (1984; dalam Djaali, 2011:101), motivasi adalah suatu
keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Motivasi juga dapat diartikan
sebagai suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai
suatu tujuan (kebutuhan).
McClelland
(1976, dalam Djaali, 2011:103) mengemuka- kan bahwa kebutuhan hidup manusia
terdapat tiga macam kebutuhan yang salah satunya merupakan kebutuhan untuk
berprestasi.
Motivasi
berprestasi merupakan adalah kondisi fisiologis dan psikologis (kebutuhan untuk
berprestasi) yang terdapat di dalam diri siswa yang mendorong untuk melakukan
aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan tertentu (berprestasi setinggi
mungkin).
Siswa
yang memilki motivasi berprestasi yang tinggi maka akan terdorong untuk
mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar keunggulan.
Sedangkan siswa dengan motivasi berprestasi yang rendah akan mengerjakan tugas
dengan asal-asalan saja dan bahkan menyuruh orang lain untuk mengerjakannya serta
ada kemungkinan siswa tersebut akan menyontek tugas temannya yang sudah
selesai.
c. Sikap
Belajar
Sikap
adalah kecenderungan untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu (Djaali,
2011:144). Sedangkan belajar merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
mendapatkan pengetahuan akademik.
Sikap
belajar dapat diartikan sebagai kecenderungan perilaku seseorang tatkala ia
mempelajari hal-hal yang bersifat akademik. Sikap belajar ini berkaitan dengan
bagaimana siswa menerima ataupun menolak suatu tujuan yang ingin dicapai,
materi yang disajikan, praktik, tugas, dan persyaratan yang ditetapkan sekolah.
Apabila
seorang siswa merasa tidak senang dengan suatu mata pelajaran maka dia akan
bersikap tidak menerima pelajaran tersebut. Sikap inilah yang nantinya akan
mempengaruhi proses dan hasil belajar yang dicapainya. Untuk menghindari hasil
belajar yang rendah pada pelajaran tersebut, maka siswa terdorong untuk menyontek
ketika mengerjakan tugas maupun di saat ujian.
d. Self-efficacy
(Keyakinan Diri) yang Rendah
Self-efficacy merupakan
keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya sendiri. Seorang siswa yang
mempunyai keyakinan diri yang baik akan mempu menampilkan kemampuan terbaiknya
dalam menyelesaikan tugas yang diberikan di sekolah dan mampu mengatasi
hambatan untuk mencapai suatu tujuannya.
Siswa yang akan
menghadapi ujian akan lebih baik jika ia memiliki self-efficacy yang tinggi, karena di dalam ujian yang diutamakan
sekali adalah kinerja siswa untuk menjawab soal ujian tersebut. Siswa yang
memiliki self-efficacy yang tinggi
akan mampu merasa, memotivasi diri, berfikir dan berperilaku selama ujian
maupun dalam hal yang lain yang berkenaan dengan belajar.
e. Self-concep (Konsep
Diri) yang Rendah
Self-concep (konsep
diri) adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri yang menyangkut apa
yang ia ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya,
serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain (Djaali,
2011:129-130).
Konsep
diri sangat erat kaitannya dengan prestasi. Siswa yang memiliki konsep diri
yang rendah disebut juga dengan siswa underachiever,
yang mana siswa ini memiliki penilaian diri yang rendah, lebih suka menarik
diri dari berbagai tantangan dan pergaulan dan bahkan merasa terisolir
dibandingkan siswa yang lainnya. Karena keadaan inilah siswa yang memiliki
konsep diri rendah terdorong untuk menyontek.
f. Berada
pada Kondisi Underpressure
Kondisi
underpressure merupakan kondisi dimana apabila dorongan atau harapan untuk
berprestasi jauh lebih besar dari pada potensi yang dimiliki. Semakin besar
harapan untuk berprestasi dan semakin rendah potensi yang dimiliki seorang
siswa maka akan semakin mendorong siswa untuk menyontek. Pada siswa yang
seperti ini biasanya hanya menunggu kesempatan atau peluang saja untuk
menyontek, karena hanya dengan menyontek dia dapat memperoleh prestasi yang
tinggi.
g. Keinginan
untuk Mendapat Nilai Tinggi
Pada
dasarnya setiap siswa ingin mendapatkan nilai yang tinggi (baik). Untuk
mencapai keinginan tersebut terkadang siswa menghalalkan segala cara termasuk
salah satunya menyontek.
Siswa
yang berorientasi untuk mendapat nilai yang tinggi berpandangan bahwa nilai
akan menjamin masa depan yang lebih baik dan dapat dengan mudah menggapai apa
yang sudah di cita-citakan.
Menurut
Eric M. Anderman dan Tamera B. Murdock (2007; dalam Dody Hartanto, 2012:5)
berdasarkan prespektif motivasi, beberapa siswa menyontek karena mereka sangat
fokus pada nilai atau ranking di kelas, yang lain menyontek karena mereka
sangat takut pada kesan yang akan diberikan oleh teman sebaya mereka pada
dirinya ( yakni dianggap bodoh dan di jauhi). Hal inilah yang merupakan
penyebab beberapa siswa terdorong untuk menyontek.
h. Tidak
Adanya Usaha untuk Belajar
Tugas
atau pekerjaan tidak dapat diselesaikan tanpa adanya usaha, daya, dan tenaga.
Semakin sulit tugas semakin banyak pula tenaga yang diperlukan untuk
mengerjakan tugas (Djaali, 2011:121)
Siswa
yang suka menyontek merupakan siswa yang termasuk sedikit sekali usahanya dalam
belajar bahkan tidak belajar sama sekali, akan tetapi mereka tetap saja
menginginkan nilai yang baik.
i.
Penilaian Tentang Menyontek
Siswa
menilai bahwa menyontek merupakan perilaku yang sudah biasa dan wajar
dilakukan. Hal ini terjadi karena mereka melihat teman-teman yang menyontek
tidak pernah mendapatkan hukuman.
Menyontek
juga dinilai sebagai perbuatan yang bukan merupakan perbuatan dosa dan tidak
melanggar kode etik.
Remaja cenderung
lebih tertarik untuk menyontek. Hal ini dikemukakan oleh Dody Hartanto
(2012:2), yaitu:
Pada kasus
menyontek, siswa yang masih memasuki usia remaja menganggap bahwa menyontek
merupakan hal yang tidak menyalahi aturan karena adanya tekanan untuk mencapai
nilai yang baik untuk dapat di terima di jenjang sekolah yang lebih tinggi
serta menunjang keberhasilan kehidupan sosial dan ekonomi di masa yang akan
datang.
j.
Sering Menunda-nunda Pekerjaan
Kebiasaan
merupakan cara bertindak yang diperoleh melalui belajar berulang-ulang, yang pada
akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis. Sedangkan kebiasaan belajar
diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang menetap pada diri siswa pada
waktu menerima pelajaran, membaca buku, mengerjakan tugas, dan pengaturan waktu
untuk menyelesaikan kegiatan.
Sering
menunda-nunda pekerjaan merupakan kebiasaan belajar yang tidak baik. Karena
dengan sering menunda-nunda pekerjaan maka seorang siswa tidak akan memiliki
kesiapan dalam mengahadapi tugas dan ujian yang diberikan oleh guru. Sehingga
jalan pintas yang digunakan adalah dengan cara menyontek untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan.
k. Keberanian
Menyontek
Seorang
siswa yang sudah terbiasa menyontek, maka tidak akan ada lagi rasa takut untuk
melakukannya. Mereka tidak takut apabila ketahuan menyontek oleh guru ataupun pengawas ujian.
Berkenaan
dengan keberanian menyontek, siswa laki-laki lebih berani menyontek
dibandingkan dengan siswa perempuan. Menurut Dody Hartanto (2011:7) perilaku
menyontek lebih banyak dilakukan oleh laki-laki karena perempuan lebih memiliki
standar moral yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
l.
Keinginan untuk Menghindari Kegagalan
Siswa
yang ingin menghindari kegagalan melakukan berbagai cara agar tidak gagal.
Kegagalan tersebut muncul ke dalam bentuk rasa takut seperti takut tidak naik
kelas, takut mengikuti ulangan susulan, takut dimarahi guru, takut diasingkan
oleh teman, dan takut dimarahi orang tua. Sehingga untuk menghindari kegagalan
siswa memilih untuk menyontek.
m. Cara
Belajar yang Tidak Baik
Cara
belajar yang tidak baik ini juga termasuk manajement waktu di dalam belajar.
Siswa yang tidak mampu mengelola waktu belajar dengan baik maka akan dapat
terjebak dalam perilaku menyontek.
Siswa
yang berada pada usia remaja cenderung memiliki sifat malas dan tidak disiplin
di dalam belajar, hal ini dikarenakan mereka sibuk untuk mencari identitas
dirinya. Menurut Mohammad Ali
(2012:179), karena dipengaruhi oleh upaya pencarian identitas diri yang kuat
menyebabkan remaja seringkali lebih senang mencari kegiatan-kegiatan selain belajar
sehingga sering ditemui remaja yang malas dan tidak disiplin dalam belajar.
Dalam
konteks belajar, gejala negatif yang terjadi pada remaja adalah kurang mandiri
dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan
tinggi (Soewandi, 1993: 186), kebiasaan belajar yang kurang baik yaitu tidak
tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian (lutfi, 1992: 102),
membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal ujian (Engkoswara, 1987:13),
merupakan penyebab seorang remaja untuk menyontek (Dody Hartanto, 2012:107).
n. Mempunyai
Moral yang Rendah
Santrock
dan Yusen (1977; dalam Elida Prayitno, 2006:100) mengemukakan bahwa moral
adalah kebiasaan atau aturan yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, moral merupakan perangkat
aturan yang menyangkut baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, benar atau
salah yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sosial (Elida Prayitno,
2006:100).
Perilaku
menyontek berkaitan dengan aspek moral karena dianggap sebagai perbuatan yang
mengarah pada indikasi ketidakjujuran. Siswa yang menyontek menganggap bahwa
menyontek akan dimaafkan dan dinggap sebagai hal yang biasa, karena mereka
dituntut untuk mendapatkan nilai yang tinggi agar dapat diterima di sekolah
lanjutan yang lebih tinggi.
Menyontek
dapat juga terkait dengan pembentukan kode moral. Menurut teori perkembangan
moral Kohlberg, perilaku menyontek lebih terkait dengan masalah pembentukan
Kode Moral (Dody Hartanto, 2012:5). Siswa yang sudah tertanamkan moral yang
baik pada dirinya, maka dia akan bisa menghindari perilaku menyontek.
2. Faktor
Eksternal
a. Orang
Tua
1) Tuntutan
yang Berlebihan dari Orang Tua
Tuntutan
orang tua supaya anaknya dapat nilai tinggi juga dapat mempengaruhi seorang
siswa untuk menyontek. Menyontek dikarnakan adanya tuntutan yang tinggi dari
orang tua agar anak mereka mendapatkan hasil terbaik (ranking) di kelas (Dody
Hartanto, 2012:5).
Salah
satu faktor menyontek menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985:388) adalah adanya
tuntutan dari orang tua kepada anaknya untuk memperoleh nilai yang baik karena
orang tua banyak yang menganggap nilai akademis sama dengan kemampuan.
Orang
tua menuntut anak supaya mendapatkan nilai baik tanpa berpikir sejauh mana
pelajaran telah dikuasai oleh anaknya. Bagi anak yang memiliki kemampuan yang
rendah, maka akan mudah terjerumus untuk menyontek.
2) Pola
Asuh Orang Tua
Sebagian
dari orang tua ada yang memakai pola asuh otoriter, hal ini dapat berdampak
negatif pada kepribadian anak. Anak yang berasal dari orang tua yang otoriter
cenderung menarik diri, depresi dan tidak percaya diri.
Jika
anak suka menarik diri, depresi dan tidak percaya diri maka itu akan mendorong
anak untuk menyontek karena merasa tidak mampu untuk mengerjakan ujian maupun
tes yang lainnya.
Orang
tua yang bermaksud untuk membantu anaknya dalam mengerjakan PR agar meringankan
anak di dalam mengerjakan tugas sekolah juga tidak akan berdampak baik bagi
anak. Kebiasaan untuk dibantu mengerjakan PR akan terus melekat dan pada
akhirnya membuat kemandirian anak rendah sehingga anak tidak terbiasa dengan
tantangan (Dody Hartanto, 2012:4).
Keluarga
merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi remaja, salah satunya dalam
pembentukan identitas dirinya. An
adolescent's knowledge of his family's social status is a significant element
in his awareness of his own identity (Jersild Artur T, 1965:288). Pengetahuan remaja tentang
status sosial keluarganya adalah elemen penting dalam kesadaran akan identitas diri sendiri. Apabila remaja mempunyai identitas diri yang tidak
bagus, maka remaja akan terdorong untuk menyontek.
b. Guru
1) Guru
yang Memperlakukan Siswa dengan Tidak Adil
Guru
yang sering memperlakukan siswa secara tidak adil juga akan menyebabkan siswa
untuk menyontek. Siswa akan merasa bahwa dirinya di benci dan tidak disukai
oleh gurunya.
2) Guru
Membiarkan Siswa Menyontek
Kebanyakan
guru membiarkan siswa menyontek di dalam ujian. Bahkan ada guru yang
menunjukkan jawaban soal ujian kepada siswa.
Peterson
dan Seligman (2004, dalam Dody Hartanto, 2012:42) menyatakan bahwa menyontek
pada siswa terjadi karena guru membiarkan siswa dan tidak mengawasi dengan
baik.
3) Guru
tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi
tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
4) Guru
terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk
membuat soal-soal yang variatif.
5) Soal
yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
6) Tidak
ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal
diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.
c. Teman
Sebaya
Teman
sebaya di sekolah memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku menyontek.
Bagi siswa yang tidak mau membantu ataupun memberi jawaban dan tidak mengikuti
perilaku menyontek maka biasanya akan dijauhi oleh teman-temannya. Karena tidak
ingin di jauhi oleh teman-temannya maka siswa terpaksa untuk menyontek.
Siswa
remaja akan lebih mudah terjerumus ke dalam perilaku menyontek. Remaja sangat
terikat oleh kelompok teman sebaya terutama di sekolah.
d. Kurangnya
Pencegahan dari Sekolah
Peraturan
sekolah yang longgar terhadap perilaku menyontek akan semakin membuat siswa
tidak akan berhenti menyontek. Mereka merasa tidak melanggar aturan tata tertib
sekolah karena tidak adanya sangsi yang di berikan oleh sekolah terhadap siswa
yang menyontek.
e. Terlalu
Banyak Tugas yang Diberikan di Sekolah
Terkadang
siswa diberikan tugas-tugas sekolah yang harus diselesaikan dalam waktu yang
bersamaan. Hal tersebut membuat siswa tidak mampu membagi waktunya untuk
mengerjakan tugas-tugasnya. Akhirnya dipilihlah jalan pintas (menyontek) supaya
tugas itu dapat terselesaikan tepat waktu.
f. Kondisi
Siswa
yang menyontek juga dapat diinterpretasikan bahwa mereka menyontek bukan karena
naluri mereka tidak bekerja ketika membedakan menyontek itu salah atau benar,
akan tetapi siswa kadang kala berada pada situasi yang menuntut dirinya untuk
menyontek.
Kondisi
yang dapat mendorong siswa menyontek seperti soal ujian yang terlalu sulit,
banyaknya soal ujian dan waktu yang diberikan tidak cukup untuk menjawab semua
soal, materi yang diajarkan tidak sesuai dengan materi yang diujiankan, serta
pengawasan ujian yang longgar.
g. Status
Ekonomi dan Sosial
Status
ekonomi dan sosial diketahui juga dapat menyebabkan seseorang menyontek.
Calabrese dan Cochran (1990; dalam Anderman & Murdock, 2007; dalam Dody
Hartanto, 2012:43) menemukan bahwa siswa dari sekolah swasta dilaporkan lebih
sering menyontek dibandingkan dengan siswa di sekolah negeri. Siswa yang
tinggal di daerah perkotaan juga di ketahui lebih banyak yang melakukan
perilaku menyontek dibandingkan dengan siswa yang tinggal di derah pedesaan.
D. Dampak
Perilaku Menyontek
1. Perilaku
menyontek dapat mendidik siswa untuk berbohong
Menyontek
merupakan termasuk perilaku berbohong baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Siswa yang sudah terbiasa menyontek akan terbiasa untuk berbohong tidak hanya
ketika ujian namun juga dapat terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari.
Menyontek
dapat mengikis pribadi jujur dalam diri seorang pelajar, dapat menghambat
seorang pelajar mengoptimalkan kemampuannya dalam belajar dan memperoleh hasil
belajar.
Sommers
dan Sattel (2005 dalam Paris S. Strom; Robert D. Strom: 2007; dalam Dody
Hartanto, 2012:5) menyatakn bahwa menyontek terjadi karena adanya erosi
perilaku, di mana siswa lebih mementingkan membantu teman-teman mereka dalam
mengerjakan tugas dan ujian. Hal ini juga dapat membuat siswa terbiasa untuk
berbohong karena mereka lebih mengutamakan untuk membantu teman di dalam ujian.
2. Siswa
tidak menghargai proses belajar
Siswa
yang hanya mengandalkan menyontek ketika ujian, di dalam belajar siswa tersebut
hanya akan bermain-main saja karena bagi mereka yang penting adalah hasil ujian
dan proses belajar tidak penting.
3. Melahirkan
koruptor, penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara
Karena
menyontek dapat mengikis kejujuran dan mendidik siswa untuk berbohong serta hal
tersebut sudah tertanam di dalan diri siswa, maka akan melahirkan
pekerjaan-pekerjaan yang tidak baik, seperti koruptor, penipu, plagiator, dan
penjahat yang menghalalkan segala cara.
4. Tidak
mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain
Ketergantungan
adalah suatu keadaan di mana seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya menggantungkan bantuan pihak lain (Hartono dan Boy Soedarmadji,
2013:88). Di dalam belajar, masalah ini dapat menimbulkan penurunan kemampuan
peserta didik atau mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugasnya, sehingga usaha
belajarnya menjadi rendah.
Siswa
yang menyontek biasanya menggantungkan dirinya kepada orang lain, hal ini dapat
mengakibatkan siswa tidak mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang
lain dalam berbagai hal.
5. Malas belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka
meneliti.
Karena
setiap ujian sudah terbiasa tidak belajar sebelum menempuh ujian, maka
lama-kelamaan akan memunculkan perilaku malas belajar, malas berpikir, malas
membaca dan tidak suka meneliti.
6. Membodohi
diri sendiri
Menyontek
termasuk perilaku yang dapat membodohkan diri sendiri. Seorang siswa yang suka
menyontek tidak akan memahami materi pelajaran dan menyontek juga berarti
berbohong pada diri sendiri, hal tersebut akan membuat siswa membodohi dirinya
sendiri.
7. Mempunyai
kepercayaan diri yang rendah
Siswa yang
menyontek ketika ujian biasanya tidak memiliki rasa percaya diri ketika
menjawab soal-soal ujian sehingga lebih memilih untuk menyontek. Karena
terus-menerus menyontek maka siswa tersebut semakin merasa bahwa dia tidak
percaya diri di dalam ujian maupun tes yang lainnya.
BAB
III
UPAYA
PENANGGULANGAN PERILAKU MENYONTEK
A. Diri
Sendiri
a.
Bangkitkan Rasa Percaya Diri (Self-efficacy)
Dengan membangkitkan rasa percaya
diri, seorang siswa akan mampu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang
lain. Siswa yang menyontek biasanya akan terbiasa untuk bergantung pada orang
lain. Oleh karena itu untuk mengurangi kebiasaan menyontek, seorang siswa harus
dapat meningkatkan rasa percaya dirinya.
Jika siswa sudah memiliki rasa
percaya diri yang tinggi maka dia akan percaya akan kemampuan dirinya ketika
menjawab soal-soal ujian. Seorang siswa yang memiliki self-efficacy yang baik, ketika dalam menghadapi ujian akan
memiliki pengharapan akan nilai yang bagus dan hasil yang memuaskan dengan
mempersiapkan diri sebelum dilakukannya ujian.
b.
Arahkan Self-consept ke Arah yang Lebih Proporsional
Jika seorang siswa sudah memiliki
konsep diri yang positif, maka dia akan dapat mengontrol dirinya agar tidak
menyontek ketika ujian maupun tes lainnya. Siswa yang memiliki konsep diri yang
positif berarti dia sudah mampu mengenal diri dan potensi-potensi yang dapat
dikembangkan baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Hal tersebut dapat
membuat siswa mampu menentukan tujuan yang realistis dan lebih mudah mencapai
prestasi yang optimal.
Hubungan antara tingginya konsep
diri yang dimiliki seorang siswa dengan intensi siswa menyontek sudah
dibuktikan oleh Uni Setyani (2007:80) bahwa pada siswa di SMA Negeri 2
Semarang, sebanyak 21,5% siswa menyontek karena konsep diri yang rendah.
Konsep diri yang dimiliki seseorang
juga dipengaruhi oleh lingkungannya terutama teman sebaya di sekolah. Interaksi
antara teman sebaya akan memunculkan adanya penerimaan atau penolakan sosial.
Penilaian tersebut akan memberikan pandangan kepada individu mengenai
peranannya dalam lingkungan sosial.
Pudjijogjanti
(1985:26; dalam Uni Setyani, 2007:75) menyatakan bahwa siswa memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam memahami dan melaksanakan tugas-tugas
sekolah. Bentuk pendekatan yang dilakukan siswa untuk memahami dan melaksanakan
tugas dipengaruhi oleh pandangan siswa pada diri dan lingkungannya, yang
berarti konsep diri berperan penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas
belajar siswa dalam usahanya meraih prestasi.
c.
Biasakan Berpikir Lebih Realistis dan Tidak Ambisius
Di dalam
belajar maupun ujian hendaknya seorang siswa tidak hanya mementingkan tujuan
akan nilai yang tinggi dan prestasi yang baik saja. Di dalam belajar yang
diharapkan terhadap siswa adalah mampu menguasai apa yang di pelajari bukan
hanya berorientasi pada hasil akhirnya.
B. Orang
Tua
Menurut Hurlock
(1999:132; dalam Uni Setyani, 2007:76) pandangan orang tua tentang kemampuan
dan prestasi anak akan mempengaruhi cara pandang anak terhadap dirinya. Orang
tua yang terlalu mengaharapkan anaknya mendapatkan prestasi yang baik akan
mempengaruhi anak untuk memperoleh nilai yang baik bagaimanpun caranya,
termasuk menyontek.
Orang tua
hendaknya mengenali potensi dan kemampuan anaknya. Jika anak kemampuan yang
rendah jangan terlalu menuntut anak untuk mendapatkan nilai tinggi.
Orang tua
hendaknya juga senantiasa menciptakan lingkungan psikologis yang mampu
mempertahankan terwujudnya kosep diri positif dengan memberi penghargaan
terhadap prestasi yang sudah diraih anak.
Orang tua
diharapkan agar tidak mematok atau memberi target nilai yang harus didapatkan
oleh anak. Orang tua hendaknya memberikan perhatian dan mengontrol proses
belajar anak, memberi pengertian dan motivasi pada anak tentang pentingnya
proses belajar sehingga anak tidak berorientasi pada hasil atau nilai sehingga
dapat meminimalisir intensi menyontek.
Orang tua
hendaknya juga tidak menggunakan pola asuh yang otoriter dalam mendidik anak
sehingga anak percaya diri di dalam bergaul dan bersosialisasi.
C. Guru
Guru hendaknya meningkatkan pengawasan dan
memberikan hukuman tegas pada siswa yang menyontek sehingga siswa tidak berani
mengulangi perbuatannya. Guru juga hendaknya tidak menganggap bahwa menyontek
sebagai perbuatan yang wajar, akan tetapi harus menyikapinya dengan serius.
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk
mengurangi intensitas menyontek adalah sebagai berikut:
a.
Membentuk
hubungan saling menghargai antara guru dengan siswa, serta menolong siswa
bertindak jujur dan tanggung jawab.
b.
Membuat dan
mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami
peraturan dari tindakan guru.
c.
Mengembangkan
kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan
cara belajar siswa.
d.
Tidak
membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran
atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e.
Bertanggung
jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri
sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
f.
Menggunakan
tes subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
g.
Menekankan
“belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti
belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah dan nilai akan berarti bila murni
dengan kemampuan siswa sendiri.
D.
Sekolah
Berkaitan dengan pelaksanaan ujian, sekolah
diharapkan membuat sistem ujian dan menggunakan bentuk soal yang meminimalisir
intensi menyontek. Sistem ujian diharapkan memperkecil kemungkinan terwujudnya
perilaku menyontek, misalnya dengan mengatur jarak. antar siswa dan membuat
soal ujian yang berbeda-beda antar kelas. Sejak siswa mulai masuk, sekolah
diharapkan menanamkan pemahaman pada siswa bahwa menyontek merupakan suatu
bentuk ketidakjujuran yang dapat berdampak pada aspek kehidupan lain.
Langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi
intensitas menyontek adalah dengan mengurangi perilaku ketidaksiapan siswa
dalam menyikuti pelajaran, mengurangi perilaku prokrastinasi, dan menghilangkan
materi yang mempersulit proses belajar (Whitley, 1998; Anderman, 2007; dalam
Dody Hartanto, 2012:45).
McCabe dan Pavela (1997; Linda Klebe Trevino, 2001;
dalam Dody Hartanto, 2012:46) mengemukakan 10 prinsip yang harus dilakukan
dalam menangani masalah menyontek, yaitu sebagai berikut:
1.
memberikan
penegasan atau penguatan tentang pentingnya integritas akademik,
2.
mendorong
kecintaan belajar,
3.
memperlakukan
siswa sebagai diri mereka sendri,
4.
membantu
terciptanya perkembangan lingkungan yang saling percaya,
5.
mendorong
tanggung jawab siswa dalam meraih integritas akademik,
6.
melakukan
klarifikasi atas harapan siswa,
7.
membuat
atau menciptakan bentuk tes yang adil dan relevan,
8.
mengurangi
kemungkinan terjadinya ketidakjujuran akademik,
9.
melawan
ketidakjujuran akademik yang terjadi, dan
10.
membantu
mendefinisikan dan mendukung terciptanya standar integritas akdemik.
Menyontek juga berkaitan dengan pola
pikir siswa terhadap perilaku menyontek, jadi berkenaan dengan ini sekolah
hendaknya mengubah pola pikir siswa bahwa menyontek merupakan suatu perilaku
yang tidak baik, menyontek dapat mengikir kejujuran dan moral seseorang.
E. Guru
BK atau Konselor
Untuk menanggulangi perilaku menyontek, guru BK
dapat menggunakan Konseling Kognitif Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis
kelompok.
1. Konseling
Kognitif Prilaku (KKP)
Konseling
kognitif perilaku digunakan untuk menangani masalah kecemasan pada siswa. Salah
satunya kecemasan yang akhirnya menyebabkan siswa menyontek.
Konseling
kognitif perilaku ini berkaitan dengan kognitif (pemikiran) dan perilaku
seseorang dalam kehidupan. Filosofi yang digunakan dalam Konseling Kognitif
Perilaku adalah perasaan dan perilaku menusia ditentukan oleh bagaimana ia
memberi arti (makna) pada setiap kejadian, masalah, dan situasi yang dihadapi
(Dody Hartanto, 2012:49). Jadi perilaku manusia dikaitkan dengan bagaimana
manusia itu memaknai setiap kejadian di dalam hidupnya.
Menurut
Oemaryadi (Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:50), teori KKP didasarkan
pada pola pembentukan manusia melalui progran Stimulus-Kognisi-Respons (SKR)
yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak, dimana proses kognitif
menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia merasa, berpikir,
dan bertindak.
Tujuan
dari Konseling Kognitif Perilaku ini adalah mengoreksi self-belief yang salah atau menyimpang yang mengakibatkan cara
berpikir yang tidak rasional yang selanjutnya akan menimbulkan gangguan
psikologis. Menurut prespektif keyakinan diri, Konseling Kognitif Perilaku
betujuan untuk meningkatkan efikasi diri
(self-efficacy) individu (Kalodner,
1995; Ilfiandra, 2008; dalam Dody Hartanto, 2012:51). Berdasarkan teori efikasi
diri, individu memiliki harapan untuk berhasil dalam menampilkan perilaku yang
khusus dan harapan yang dimiliki itu dapat berpengaruh pada pengambilan
keputusan untuk mencoba perilaku baru dan mempertahankan perubahan perilaku.
Model
self-efficacy oleh Albert Bandura
merupakan salah satu model Konseling Kognitif Prilaku (KKP) yang sering
digunakan. Self-efficacy dapat diartikan sebagai keyakinan terhadap
diri sendiri. Bandura merupakan ahli psikologi yang banyak menulis bahwa faktor
sosial-kognitif mempengaruhi belajar dan perubahan perilaku individu.
Berbagai
teknik yang digunakan dalam Konseling Kognitif Prilaku oleh Bond (2004; dalam
Dody Hartanto, 2012:56) dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (a) restrukturisasi
kognitif, yang menckup terapi emosi rasional, pengajaran diri, dan terapi
kognitif, (b) terapi keterampilan dalam menangani situasi yang meliputi
pemodelan tertutup, latihan pengolahan kecemasan, dan suntikan stres, serta (c)
terapi pemecahan masalah yang berisikan pemecahan masalah perilaku dan kepercayaan
diri.
McLeod
(2006; Mubyar, 2009; dalam Dody Hartanto, 2012:57) menyebutkan bahwa beberapa
teknik yang dapat digunakan dalam Konseling Kognitif Perilaku, yaitu:
a.
menata
keyakinan yang irasional,
b.
bibliotherapy
(terapi pustaka),
yaitu menerima kondisi emosi internal sebagai sesuatu yang menarik bukannya
sesuatu yang menakutkan,
c.
mengulang
kembali penggunaan beragam pernyataan diri,
d.
mencoba
penggunaan berbagai pernyataan diri,
e.
mengukur
perasaan,
f.
menghentikan
pikiran,
g.
desensitisasi
sistematis,
h.
pelatihan
keterampilan sosial,
i.
assertiveness
skill training
atau pelatihan keterampilan agar dapat bertindak dengan tegas,
j.
pemberian
tugas rumah, dan
k.
in vivo exposure, yaitu
mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.
Penggunaan
KKP untuk mengurangi intensitas menyontek sudah dibuktikan oleh Mubarok (2009)
bahwa menyontek di sekolah dasar memiliki intensitas sedang dan rendah.
Penelitian yang lain juga menemukan intensitas menyontek di sekolah menengah
pertama yang berada pada kategori sedang dan tinggi.
2. Konseling
REBT Berbasis Kelompok
REBT
(Rasional Emotive Behavior Therapy)
dulu dikenal sebagai RET (Rational
Emotive Therapy). Pendekatan RET lebih ditekankan pada kognisi, perilaku
dan aksi yang lebih mengutamakan berpikir, menilai, menentukan, menganalisis
dan melakukan sesuatu. George & Crintiani (1990; dalam Hartanto dan Boy
Soedarmadji, 2013:131) menyatakan bahwa pendekatan RET ini menekankan pada
proses berpikir konseli yang dihubungkan dengan perilaku serta kesulitan
psikologis dan emosional.
Berkenaan
dengan teknik REBT, menurut Gladding (2004; dalam Dody Hartanto, 2012:60) dapat
menggunakan bebagai macam teknik. Dua yang utama adalah mengajari (teaching) dan menantang (disputing). Mengajari menyangkut
memberikan pemahaman tentang ide dasar REBT dan memahami bahwa pikiran
bertautan dengan emosi dan perilaku. Sedangkan teknik menantang terbagi menjadi
tiga, yaitu menantang pemikiran atau keyakina, tantang imajiner, dan tantangan
perilaku.
REBT tidak hanya
betujuan menghilangkan simtom, tetapi juga membantu orang memeriksa dan
mengubah beberapa nilai dasar mereka terutama yang menimbulakan gangguan (Dody
Hartanto, 2012:67). Hal ini berkaitan dengan menghilangkan penilaian yang salah
oleh siswa terhadap perilaku menyontek.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menyontek merupakan sebuah kecurangan
yang dilakukan oleh seseorang dalam mengerjakan tugas dan ujian, baik itu di
sekolah, di perguruan tinggi, maupun ditempat yang lainnya dan juga merupakan
suatu penipuan atau melakukan perbuatan tidak jujur.
Memnyontek mempunyai gejala-gejala dan
bentuk yang bermacam-macam. Gejala-gejala menyontek diantaranya adalah
prokrastinasi, self-efficacy yang
rendah, kecemasan yang berlebihan, motivasi belajar dan berprestasi yang
rendah, keterikatan pada kelompok, keinginan akan nilai tinggi, pikiran negatif,
harga diri dan kendali diri yang rendah, serta perilaku impulsive dan cari perhatian. Sedangkan bentuk-bentuk menyontek
antara lain, yaitu Individual-opportinistic,
Independent-planned, Social-active, Social-passive,
melihat jawaban teman pada saat tes berlangsung, meminta jawaban kepada
teman, mengizinkan teman menyalin jawaban, menggunakan bahan yang tidak sah
pada setiap kegiatan akademik, plagiat, membantu orang lain untuk terlibat
dalam perilaku menyontek, membuat catatan sendiri, membuka buku saat ujian, membuat
coret-coretan di kertas kecil, rumus di tangan, dikerah baju, mencuri jawaban
teman, dan menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Faktor penyebab perilaku menyintek
terbagi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya
antara lain adalah tingkat kecerdasan yang rendah, tidak adanya motivasi
berprestasi, sikap belajar yang tidak baik, self-efficacy
(keyakinan diri) yang rendah, self-concep (konsep diri) yang rendah, berada
pada kondisi underpressure, keinginan untuk mendapat nilai tinggi, tidak adanya
usaha untuk belajar, penilaian tentang menyontek, sering menunda-nunda
pekerjaan, keberanian menyontek, keinginan untuk menghindari kegagalan, cara
belajar yang tidak baik, dan mempunyai moral yang rendah.
Sedangkan faktor eksternalnya berasal
dari orang tua (seperti tuntutan yang berlebihan dari orang tua kepada anaknya
agar mendapatkan prestasi yang baik), guru, teman sebaya, kurangnya pencegahan
dari sekolah, terlalu banyak tugas yang diberikan di sekolah, kondisi, serta status
ekonomi dan sosial.
Adapun dampak-dampak perilaku menyontek
antara lain, yaitu:
1. Perilaku
menyontek dapat mendidik siswa untuk berbohong.
2. Siswa
tidak menghargai proses belajar.
3. Melahirkan
koruptor, penipu, plagiator, dan penjahat yang menghalalkan segala cara.
4. Tidak
mau berusaha sendiri dan selalu mengandalkan orang lain.
5. Malas belajar, malas berpikir dan merenung, malas membaca dan tidak suka
meneliti.
6. Membodohi
diri sendiri.
7. Mempunyai
kepercayaan diri yang rendah.
Upaya penanggulanagan perilaku menyontek dapat
dilakukan dalam berbagai segi, baik itu dari diri sendiri, orang tua, guru,
sekolah, dan guru BK atau konselor. Adapun upaya penanggulangan perilaku
menyontek oleh konselor dapat dilakukan dengan menggunakan Konseling Kognitif
Perilaku (KKP) dan konseling REBT berbasis kelompok.
B. Saran
Seorang siswa hendaknya mampu meningkatkan rasa
percaya diri dan keyakinan diri bahwa dia mampua untuk menjawab soal ujian
maupun mengerjakan tugas tanpa menyotek dari teman maupun menyontek dari yang
lainnya.
Orang tua hendaknya juga tidak menuntut secara
berlebihan kepada anak untuk mendapatkan nilai yang baik. Karena itu akan
membuat anak mengahalalkan segala cara untuk menyenangkan orang tua, seperti
dengan cara menyontek. Orang tua juga tidak seharusnya memakai pola asuh yang
otoriter terhadap anak, hal ini akan mengakibatkan anak menarik diri dari
pergaulan dan tidak mempunyai rasa percaya diri.
Sebagai guru, sebaiknya juga harus melarang siswa
untuk tidak menyontek dan tidak seharusnya guru hanya membiarkan siswa
menyontek ketika ujian maupun dalam membuat tugas. Jika ada siswa yang
menyontek hendaknya diberikan hukuman yang membuat siswa tersebut jera an tidak
menyontek lagi. Hal ini juga perlu adanya ketegasan dari sekolah untuk
menangani siswa yang menyontek.
Guru BK dan konselor juga harus mampu untuk mencegah
siswa agar tidak terjerumus untuk menyontek. Guru BK atau konselor harus mampu
membantu siswa agar siswa mempunyai konsep diri yang positif dan rasa percaya
diri yang tinggi dan juga membantu agar siswa mampu mengembangkan potensi yang
dimiliki.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Alawiyah,
Hasnatul. 2011. Pengaruh Self-efficacy,
Konformitas, dan Goal Orientation Terhadap Perilaku Menyontek (Cheating) Siswa Mts
Al-Hidayah Bekasi. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Ali,
Mohammad. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Aryani, Farida. 2013.
Studi tentang Faktor-faktor Penyebab
Perilaku Plagiat Mahasiswa UNM. Makalah disajikan dalam Forum Ilmiah dan
Seminar Internasional Forum FIP-JIP Se-Indonesia, Universitas Negeri Medan,
29-31 Oktober 2013.
Djaali.
2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Friyatmi.
2011. “Faktor-faktor Penentu Perilaku
Mencontek di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNP”. Jurnal Vol. VII No. 2 Th. 2011.
Hartanto, Dody. 2012. Bimbingan dan
Konseling Menyontek: Mengungkap Akar Masalah dan Solusinya. Jakarta Barat:
Indeks Jakarta.
Hartono & Boy Soedarmadji. 2013. Psikologi Konseling. Jakarta: Kencana.
Jersild, Arthur T. 1965. The Psychology of Adolescence. New York:
The Macmillan Company.
Prayitno,
Elida. 2006. Psikologi Perkembangan
Remaja. Padang: Angkasa Raya
Sari, Intan dkk. 2013. “Locus of Control dan
Perilaku Menyontek Serta Implikasinya Terhadap Bimbingan dan Konseling (Studi
pada Siswa Sekolah Menengah Atas Padang Ganting)”. Jurnal Ilmiah Konseling Volume 2, Nomor 1, Januari 2013.
Sarwono,
Sarlito W. 2012.Pengantar Psikologi Umum.
Jakarta: Rajawali Pers.
Setyani, Uni.
2007. Hubungan Antara Konsep Diri dengan
Intensi Menyontek pada Siswa SMA Negeri 2 Semarang. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro.